Father Forgets

Oleh: W. Livingston Larned

Hisyam Asadullah
3 min readMar 9, 2023
Photo by Daiga Ellaby on Unsplash

Dengar, Nak: Ayah mengatakan ini saat kau berbaring tidur, satu telapak kecil meringkuk di bawah pipimu dan ikal pirang merekat basah di dahimu yang berkeringat. Ayah diam-diam menyelinap masuk ke kamarmu. Beberapa menit lalu, saat Ayah duduk membaca di ruang baca, gelombang penyesalan yang menyesakkan menerpa Ayah. Dengan perasaan bersalah Ayah datang ke samping tempat tidurmu.

Ada hal-hal yang Ayah pikirkan, Nak: Ayah marah padamu. Ayah menegurmu saat kau bersiap-siap ke sekolah karena kau hanya membasuh wajah dengan handuk. Ayah menegurmu karena kau tidak membersihkan sepatu. Ayah berteriak marah ketika kau melempar beberapa barang ke lantai.

Saat sarapan Ayah juga menemukan kesalahan. Kau menumpahkan sarapan. Kau tergesa-gesa menelan makanan. Kau meletakkan siku di meja. Kau terlalu tebal mengoles mentega di roti. Dan ketika kau beranjak untuk main dan Ayah akan berangkat mengejar kereta, kau berpaling, melambaikan tangan dan berseru, “Dadah, Ayah!” dan Ayah mengernyitkan dahi, menjawab, “Tegakkan tubuhmu!”

Lalu semuanya dimulai lagi pada sore hari. Di dekat rumah, Ayah melihatmu, berlutut, bermain gundu. Ada lubang di kaus kaki panjangmu. Ayah menghinamu di depan teman-temanmu dengan mendesakmu berjalan di depan Ayah memasuki rumah. Kaus kaki itu mahal — dan kau harus membelinya, kau akan lebih berhati-hati! Bayangkan itu Nak, dari seorang ayah!

Kau ingat tadi, ketika Ayah sedang membaca di ruang baca, bagaimana kau masuk dengan takut-takut, dengan sorot mata terluka? Ketika Ayah menoleh dari koran, tak sabar menghadapi gangguanmu, kau berhenti di pintu. “Mau apa?” bentakku.

Kau tidak mengatakan apa-apa, tapi berlari kencang, memeluk leherku dan menciumku, dan lengan-lengan kecilmu memeluk erat penuh kasih yang telah Tuhan tumbuhkan dalam hatimu yang bahkan tidak bisa layu oleh kelalaian. Lalu kau pergi, berlari kecil menaiki anak tangga.

Baiklah, Nak, tak lama sesudahnya koran terlepas dari tangan Ayah dan ketakutan yang sangat menyakitkan mendatangi Ayah. Apa yang dilakukan oleh kebiasaan itu pada Ayah? Kebiasaan menemukan kesalahan, menegur — inikah hadiah Ayah untukmu karena kau menjadi seorang putra? Ayah bukan tidak mencintaimu; Ayah hanya menuntut terlalu banyak dari usia beliamu. Ayah mengukurmu dengan tolok ukur usia Ayah.

Dan ada begitu banyak kebaikan, kehalusan, serta kebenaran dalam karaktermu. Hati kecilmu sebesar matahari yang terbit di balik perbukitan yang luas. Itu ditunjukkan oleh dorongan spontanmu untuk bergegas masuk dan memberi ciuman selamat malam. Tak ada yang lebih penting malam ini, Nak. Ayah datang ke samping tempat tidurmu dalam gelap, dan berlutut di situ, merasa malu!

Itu penebusan yang rapuh; Ayah tahu kau tidak akan memahaminya kalau Ayah menceritakannya kepadamu saat kau bangun. Namun, esok Ayah akan menjadi ayah yang sesungguhnya! Ayah akan berteman denganmu, dan menderita ketika kau menderita, tertawa ketika kau tertawa. Ayah akan menggigit lidah ketika muncul kata-kata tak sabar. Ayah akan terus berkata, seakan-akan itu ritual: “Dia hanyalah anak laki-laki — anak laki-laki kecil.”

Ayah khawatir telah memandangmu sebagai pria dewasa. Namun sekarang, saat melihatmu, Nak, meringkuk berkeringat dan lelah di tempat tidur kecilmu, Ayah melihat bahwa kau masih bayi. Kemarin kau ada di gendongan ibumu, kepalamu menyandar di bahunya. Ayah meminta terlalu banyak, terlalu banyak.

--

--