Hidup dalam Kematian, Abadi dalam Postingan

Hisyam Asadullah
4 min readNov 27, 2023

--

Photo by Rafaëlla Waasdorp on Unsplash

Aku menginginkan keabadian. Aku ingin hidup dalam kematian, bukan mati dalam kehidupan. Mati dalam kehidupan artinya ada atau tidak adanya kamu di kehidupan tak memberikan manfaat apa-apa. Hidup dalam kematian artinya kamu terus bermanfaat walaupun kamu sudah mati. Dan salah satu cara yang paling mudah untuk “abadi” hari ini adalah dengan postingan.

Jejak digital: Hari ini sampai mati

Jejak digital akan terus ada sampai mati. Memang terdengar agak berlebihan, tapi begitulah faktanya. Bahkan setelah mati pun, jejak digital itu akan tetap ada. Sebuah kenyataan yang harus segera disadari oleh generasi yang hidup hari ini. Setiap komentar, postingan, dan bagikan yang kita lakukan di sosial media akan tetap ada. Minimal masuk database. Maksimal discrenshoot orang lain, dan terus dibagikan sampai hari ini. Oleh karena itu, kita harus hati-hati.

Kita harus hati-hati dalam bereaksi, bersikap dan berbagi. Hati-hati dalam bereaksi terhadap postingan setiap orang, bersikap terhadap komentar setiap hal, ataupun berbagi terhadap setiap informasi. Karena lagi-lagi, semua akan meninggalkan jejak. Jejak inilah yang akan diangkat orang, jikalau kita berbeda sikap terhadap suatu hal.

Contoh kasusnya begini: Misalnya kamu dulu pernah mendukung A karena alasan a, b, c dst. Setelah beberapa tahun kemudian, ternyata apa yang kamu dukung tidak sesuai dengan apa yang kamu yakini. Ternyata mendukung A adalah hal yang buruk setelah beberapa saat kamu belajar, menerima informasi, dst. Kemudian, kamu pun mulai bersuara untuk mendukung B. Ketika kamu mendukung B, tiba-tiba ada netizen yang mengangkat jejak digital yang telah kamu buat. Sehingga, stance kamu mendukung B menjadi tidak valid. Kenapa? Karena dulu kamu pernah mendukung A, tidak mendukung B. Netizen akan mempertanyakan kenapa kamu baru dukung B sekarang?

Nah itulah salah satu contoh kasus sederhana yang seringkali terjadi di sosial media kita. Mungkin kamu pun pernah menemukan kasus-kasus serupa. Pertanyaan selanjutnya adalah: Bagaimana menghapus jejak digital ini? Jawabannya: Tidak bisa.

Mungkin pertanyaan yang lebih cocok untuk kita diskusikan adalah: Kenapa sulit sekali untuk taubat dari dosa “jejak digital”? Seolah-olah apa yang pernah kita dukung, sampaikan, atau bagikan adalah hal yang absolut. Sampai kapanpun kita harus mendukung hal yang sama dengan apa yang kita sampaikan dulu. Bukankah kita bisa berubah? Bukankah kita bisa belajar? Sehingga, apa yang kita sampaikan dulu dan sekarang mengalami perbedaan harusnya menjadi hal yang lumrah. Bukankah begitu?

Akan tetapi, aku pun memahami satu hal. Perubahan pendapat atau posisi yang terlalu mendadak juga bukanlah suatu hal yang baik. Tiba-tiba bilang A, besok bilang B, besoknya lagi bilang C. Sikap plinplan juga tidak baik untuk dimiliki oleh seseorang. Singkatnya, tidak memiliki prinsip. Hanya saja, batasnya pun masih bias. Sampai kapan kita bisa mengubah pendapat yang sebelumnya kita rasa tidak valid? Sehari? Sepekan? Sebulan? Setahun? Sampai kapan?

Dua prinsip digital: Benar dan baik

Setidaknya ada dua prinsip yang aku pegang dalam bersosial media. Benar isinya, baik caranya.

Pertama, benar isinya. Benar menurut KBBI artinya sesuai sebagaimana adanya (seharusnya); betul; tidak salah. Tantangan digital hari ini yang paling berbahaya menurutku adalah hoax. Maka, penting bagi kita untuk memastikan bahwa apa yang akan kita sampaikan dan bagikan adalah sesuatu yang benar. Terkait persepsi itu urusan belakangan. Sejatinya setiap informasi bersifat netral, dan persepsi adalah pandangan subjektif masing-masing.

Bayangkan kalau informasi yang kita sampaikan itu salah dan menimbulkan persepsi yang buruk di masyarakat. Bukankah itu akan merugikan banyak orang? Kita akan merugikan orang yang ada di dalam berita tersebut. Kita pun akan merugikan orang yang sudah mendapatkan informasi yang salah. Begitu banyak dosa yang akan kita dapatkan kalau informasi yang kita sampaikan salah. Maka, selalu validasi, cari tahu, dan jangan mudah terprovokasi.

Kedua, baik caranya. Hari ini, kita hidup di masa yang mengkhawatirkan. Orang-orang mudah saja untuk “ngatain” orang lain di sosial media. Kalau benar, pujian itu bisa jadi muncul, bisa jadi tidak. Kalau salah, habislah. Segala perkataan kotor akan keluar untuk mengatakan bahwa kamu salah. Memang tidak semuanya, tapi mudah sekali menemukan kasus di atas bukan?

Maka, aku mengajak kepada kita semua untuk kembali bersosial media dengan santun. Perbedaan pendapat adalah hal yang biasa. Perbedaan pendapat tidak membenarkan kamu untuk “ngatain” orang lain. Bagaimana dengan “kesalahan” pendapat? “Kesalahan” pendapat pun tidak bisa membenarkan kamu untuk “ngatain” orang lain. Allah berfirman di dalam Q.S. Thaha: 43–44:

“Pergilah kamu berdua kepada Firaun. Sesungguhnya ia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lembut. Mudah-mudahan ia ingat atau takut.”

Firaun yang mengaku Tuhan saja, Allah SWT perintahkan kepada nabi Musa As. dan nabi Harun As. untuk dakwahi dengan kata-kata yang lembut. Apalagi perbedaan pendapat yang kecil-kecil saja?

Marilah kita hidup dalam keabadian yang baik. Sampaikanlah informasi yang baik, kesan yang baik, dan pesan yang bermanfaat kepada semua orang. Gunakanlah sosial media sebijak mungkin. Pastikan isinya benar. Sampaikan dengan cara yang baik. Wallahu’alam bishowab.

--

--