Lima pelajaran yang kudapatkan tentang menulis

Perjalanan menulis selama 2 tahun 10 bulan

Hisyam Asadullah
5 min readDec 27, 2022
Sumber: Dokumentasi Pribadi.

Perjalanan menulisku dimulai sejak bulan maret tahun 2020. Tulisan itu masih ada sampai sekarang, sebagai pengingat sejak kapan aku memulai. Kala itu motivasi utama menulis adalah supaya aku bisa meninggalkan sesuatu yang — semoga saja — bermanfaat. Layaknya Buya Hamka dengan tulisannya yang tetap hidup walaupun raganya telah mati. Aku berangkat dari sana.

Tulisan pertama pun bercerita tentang niat. Sesuatu yang biasa saja. Kalau teman-teman sekalian mencari di google apa arti dari niat, tentu akan sangat banyak sekali artikel yang bertebaran. Artikel yang kutulis pun tak akan masuk di halaman awal pencarian. Entahlah apakah bisa ditemukan atau tidak jika teman-teman mencari tulisan itu di google langsung.

Menulis menjadi pengalaman yang sangat berharga selama masa perkuliahan. Aku pernah menulis saat senang, sedih, kecewa, bahagia, stress, dan perasaan-perasaan lainnya. Setelah aku melihat ke belakang, ternyata perasaan-perasaan itu turut serta mempengaruhi tulisan yang aku hasilkan. Tulisan ketika aku sedang merasa senang dan sedih memiliki flow yang berbeda. Tulisah ketika aku jatuh cinta dan patah hati memiliki kesan tersendiri. Semua tulisan mempunyai rasanya masing-masing.

Dan di tulisan kali ini, aku akan berbagi terkait tulisan-tulisan yang telah kubuat. Lebih tepatnya, pelajaran apa yang telah kudapatkan selama perjalanan 2 tahun 8 bulan menulis berbagai tema. Perjalanan 29 tulisan dengan tema yang berbeda dan rasa yang berbeda. Tulisan ini adalah tulisan yang ke-30.

Konsisten harga mati!

Untuk sebuah perjalanan menulis selama 2 tahun 8 bulan, maka konsistensiku jelek sekali. Bayangkan selama 2 tahun 8 bulan kamu hanya mampu menulis 29 judul tulisan.

Awalnya, aku menargetkan 1 tulisan setiap bulan, sehingga harusnya ada 32 tulisan sampai hari ini. Namun ternyata, baru ada 29 tulisan yang telah dibuat. Itu satu hal.

Hal lain yang bisa dilihat adalah terkait jarak antara satu tulisan dengan tulisan lainnya. Aku pernah menulis sekali sebulan. Aku pernah menulis satu kali selama tiga bulan. Aku pernah menulis tujuh kali selama satu bulan. Tidak ada konsistensi yang bisa kutemukan selama perjalanan menulis ini. Aku masih terpengaruh oleh hal internal dan eksternal. Sehingga menulis belum menjadi sebuah habit yang “habit banget” di kehidupanku.

Konsistensi akan membawamu menuju kesuksesan ke depan. Bayangkan jika kamu konsisten menulis satu judul selama satu minggu saja, mungkin hari ini habit menulis telah tumbuh mekar di kehidupanmu. Namun, kenyataan yang aku alami tidak seperti itu. Perbaikan tentu akan selalu digaungkan, sedikit demi sedikit, atau banyak sekaligus pun tak jadi soal. Intinya, ketika kamu konsisten, kamu pun akan bertumbuh secara konsisten.

Ide bisa dicari dimana-mana.

Awal menulis, aku merasa setiap tulisanku haruslah berasal dari kajian mendalam, research berbagai sumber dan jurnal, intinya tulisanku harus sempurna tanpa cela. Sampai akhirnya aku berada di titik:

Tulisan yang baik adalah tulisan yang selesai.

Pelajaran yang sangat berharga bahwa menulis bukan tentang seberapa mewah tulisan yang kamu hadirkan, namun bagaimana tulisan itu bisa ada dari berbagai sumber dan cerita. Tulisan bisa hadir dari pengalaman hidup yang telah lalu, kejadian viral yang terjadi akhir-akhir ini, ataupun sekecil kamu menulis soal kebiasaan yang kamu lakukan setiap pagi.

Ide terkait tulisan sejatinya bisa datang dari mana saja. Tak melulu harus searching sana-sini, baca buku ratusan lembar, baru kemudian kamu berani menulis. Menulis pada akhirnya adalah mengeluarkan keresahan yang bertumpuk di dalam kepala.

Tidak ada sesuatu yang benar-benar baru.

Dulu, aku merasa setiap tulisan haruslah otentik dan benar-benar baru. Tak boleh ada judul yang sama sebelumnya. Tak boleh ada pembahasan yang sudah dibahas oleh orang lain.

Namun, aku menyadari tak ada yang benar-benar baru di dunia ini. Hampir semua hal sudah pernah dibahas. Hampir semua hal sudah pernah didiskusikan. Hampir semua hal sudah pernah ditulis. Setiap keresahan, setiap permasalahan, sudah pernah dibahas sebelumnya oleh para pendahulu kita.

Tugas kita adalah mengembangkan yang sudah ada atau menyampaikan cerita dengan gaya berbeda. Kalau sekiranya setiap penulis harus menciptakan sesuatu yang baru, kurasa perjalanan menulis — menulis apa pun itu — akan berjalan sangat lama. Yang perlu kita lakukan adalah mengembangkan yang sudah ada, menyampaikan cerita dengan gaya berbeda, atau mencantumkan referensi terhadap tulisan yang kita buat.

Up and down is normal.

Aku seringkali meremehkan ketika berada di atas (re: semangat).

“Masa iya sih bisa turun semangat nulis? Bisalah satu minggu satu tulisan” begitu ucapku dulu.

Sombong memang. Sampai akhirnya aku berhenti menulis selama tiga bulan. Tuhan benar-benar memberikan pelajaran kepada hamba-Nya yang sombong saat itu.

Selama tiga bulan berhenti, entah kenapa rasa semangat itu benar-benar lenyap seketika. Sudah di depan laptop, namun ide tak kunjung muncul, tangan tak kunjung mengetik, otak tak kunjung berpikir. Alhasil aku berpindah menuju pekerjaan selanjutnya. Sampai-sampai aku bertanya: “Ya Allah, salah apa hambamu ini sampai hilang semangat seperti ini?”. Bahkan di detik itu pun aku belum sadar pernah sombong di masa yang lalu.

Long story short, akhirnya semangat itu kembali muncul. Menulis tak lagi menjadi seperti beban. Walaupun tidak semudah membalik telapak tangan, setidaknya menulis kembali menjadi sebuah kebiasaan yang diusahakan.

Hidup memang seperti itu. Terkadang kita di atas, terkadang kita di bawah, terkadang kita pecah ban (sehingga harus di bawah terus selama beberapa waktu haha). Selama di atas, seharusnya kita banyak bersyukur terhadap apa yang telah diberikan. Selama di bawah, seharusnya kita banyak bersabar terhadap cobaan yang menerpa, entah dari internal ataupun eksternal diri. Segera instropeksi, barangkali ada salah yang menyebabkan kita terus berada di bawah.

Kamu akan berkembang, sekecil apapun itu.

This sentence has changed me. Aku merasa selama menulis, orang-orang yang membaca tulisanku tetap segitu saja. Tak bertambah, malahan berkurang. Sebelum akhirnya aku mendengar mengenai analogi pencairan es.

Bayangkan kita sedang memegang es batu sebesar rumah. Tujuan kita adalah untuk mencairkan es batu tersebut. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari. Rasa-rasanya es batu sebesar rumah itu tak pernah cair. Ukurannya tetap seperti itu. Bahkan terasa semakin membesar saja.

Namun yang harus dipahami adalah, bahwa di dalam es batu tersebut pun sedang terjadi reaksi pencairan. Reaksi pencairan ini terjadi terus-menerus di dalam es batu, walaupun kita tak bisa melihatnya secara kasat mata. Sampai akhirnya kita sampai pada titik es batu itu pun akan benar-benar mencair di depan mata kita.

Layaknya kehidupan, sejatinya kita pun sedang bertumbuh dengan caranya masing-masing. Hanya saja, mungkin hasilnya belum terlihat secara kasat mata. Mungkin ia memerlukan satu hari, dua hari, satu bulan, dua bulan, atau mungkin bertahun-tahun sehingga hasil pertumbuhan terhadap apa yang kita usahakan itu terlihat.

Selama menulis pun sebenarnya aku juga tak melihat pertumbuhan itu. Aku merasa pertumbuhan yang aku alami stagnan. Sampai akhirnya aku melihat tulisan pertamaku dan tulisanku yang ke-29. Terjadi perbedaan tata bahasa, gaya penyampaian dan isi yang disampaikan. Aku bisa melihat pertumbuhan itu. Maka dari itu, penting untuk mengingat awal langkahmu, di mana pun kamu sedang bertumbuh.

Akhir kata, bertumbuhlah kamu dengan gayamu sendiri. Tak perlu merasa minder dengan pencapaian orang-orang yang sudah mentereng. Menjadi lebih baik dari kemarin saja kurasa sudah sangat-sangat cukup.

--

--