Post Power Syndrome = Alumni yang Menyebalkan

“Kakak dulu dek…”

Hisyam Asadullah
4 min readMar 23, 2023
Photo by LinkedIn Sales Solutions on Unsplash

Disclaimer: Tulisan ini hadir bukan karena ingin mengkritik dengan kebencian kepada kakak-kakak alumni yang telah berjasa dalam hidup saya. Mereka telah memberikan begitu banyak pelajaran, nilai dan ilmu pengetahuan yang tak terhingga. Namun, tulisan ini hadir sebagai refleksi atas perjalanan hidup saya pribadi. Evaluasi yang dituangkan dalam bentuk tulisan untuk diingat kembali di masa yang akan datang.

Pernahkah Anda mendengar kalimat di awal tulisan ini? Atau mungkin Anda adalah salah satu yang pernah melontarkan kalimat itu? Silahkan dijawab di dalam hati masing-masing. Saya pernah berada pada kedua posisi tersebut. Saya pernah mendengar kalimat itu dari kakak tingkat sebelumnya dan karena saya sekarang sudah berada di semester akhir — ditambah saya baru saja demisioner dari organisasi kampus — maka, saya pun pernah mengucapkan kalimat tersebut.

Kalimat itu bisa dimaknai positif atau negatif. Positifnya adalah, Anda barangkali sedang bercerita tentang apa yang dilakukan di masa lampau sebagai pembelajaran untuk generasi penerus. Negatifnya? Anda hanya sedang mencoba menyombongkan diri bahwa masa-masa kepemimpinan Anda adalah yang terbaik, tak ada lawan, dan tanpa cela. Pada akhirnya, semuanya akan kembali kepada niat yang mengucapkan kalimat tersebut.

Dan barangkali, Anda mengalami gejala post power syndrome. Lantas, apakah post power syndrome itu?

Post power syndrome adalah kondisi dimana ketika seseorang hidup dalam bayang-bayang kekuasaan yang pernah dimilikinya dan belum bisa menerima hilangnya kekuasaan itu. Post power syndrome sering dialami oleh orang yang baru saja memasuki masa pensiun. Namun, pada kesempatan kali ini saya akan coba membahas pada tataran mahasiswa, khususnya untuk para demisioner aktivis mahasiswa yang telah berkecimpung di organisasi mahasiswa selama di kampus.

Post power syndrome menjadi berbahaya dikarenakan menyebabkan kondisi organisasi mahasiswa menjadi tidak kondusif. Kenapa bisa seperti itu? Pandangan pribadi saya adalah: Pertama, alumni yang mengalami post power syndrome akan terus ikut campur dan merasa bahwa nasihat yang ia sampaikan adalah nasihat yang tak terbantahkan. Apakah salah ketika ia menyampaikan nasihat? Tak ada salahnya. Yang salah adalah ketika ia merasa nasihat yang ia sampaikan fix 100% tak boleh diganggu gugat harus dilaksanakan. Padahal, zaman telah berganti, masalah yang dihadapi telah berbeda, sehingga barangkali nasihat yang disampaikan tak lagi relevan.

Selanjutnya, pengurus organisasi yang baru akhirnya tidak bisa bertumbuh. Ia terlalu sering diarahkan, terlalu sering dibilang harus A, harus B, dsb. Sehingga, ia tak bisa menentukan langkahnya sendiri. Parahnya lagi, barangkali ia jadi tak bisa merasakan kegagalan atas pengalaman yang ia lakukan. Padahal, kegagalan adalah salah satu proses yang krusial untuk dilewati. Terkadang kegagalan memberikan pengalaman yang lebih dalam ketimbang kesuksesan.

Lantas, teruntuk yang telah demisioner dari organisasi, bagaimana menghadapi post power syndrome ini?

Menyadari posisi = Move on.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah sadar. Sadar bahwa amanah telah berpindah pundak. Sadar bahwa kita bukanlah pengurus organisasi itu lagi. Sadar bahwa kita harus bergerak mencari hal lain untuk dikerjakan esok hari.

Rutinitas-rutinitas seperti rapat, bahas agenda sana-sini, ataupun sekedar kumpul bersama adalah rutinitas-rutinitas yang tak terelakkan selama di organisasi. Terkadang, kenangan-kenangan itu manis untuk diingat. Dan ketika telah demisioner, jleb. Rutinitas-rutinitas itu hilang. Kebiasaan koordinasi sana-sini, bahas agenda untuk mewujudkan visi, tak lagi ada dalam kehidupan. Yang terjadi adalah kekosongan.

Maka, hal pertama yang harus dilakukan adalah sadar. Tak mengapa mengenang masa-masa indah itu, tapi jangan tertinggal disana. Hidup terus berjalan, dan kita harus terus bergerak untuk melakukan kebaikan di tempat lain.

Set the boundaries.

Sebagai alumni — saya pun merasa begitu — memang ada beberapa hal yang harus disampaikan kepada penerus. Tujuannya apa? Supaya mereka tahu titik kelemahan yang terjadi pada masa kepengurusan sebelumnya. Sehingga, kesalahan yang sama tidak terulang kembali dan mereka paham terkait kebaikan apa yang telah dilakukan dan wajib untuk mereka teruskan.

Namun, tak serta merta dalam satu tahun kepengurusan yang akan datang, Anda sebagai alumni harus terus “turun gunung” menyampaikan pesan-pesan itu. Itulah pentingnya membangun batasan. Batasan itu haruslah disepakati antara pengurus organisasi yang baru dengan alumni yang baru saja demisioner.

Bagaimana bentuk penyampaian pesannya? Coaching? Mentoring? Atau sekedar temu santai di kafe bisa menjadi pilihan. Seberapa sering intensitasnya? Sebulan sekali? Dua bulan sekali? Atau memang ketika ada hal-hal penting saja yang harus dibahas baru bertemu? Banyak sekali batasan yang bisa dibangun oleh kedua belah pihak. Sehingga, alumni bisa menyampaikan pesan tadi dan pengurus baru tak merasa “ditinggalkan” ketika menjalani roda organisasi.

Mencari kesibukan yang berarti.

Poin ini adalah poin penting yang harus dilakukan. Karena, ketika poin ini tak dilaksanakan, maka poin-poin sebelumnya menjadi tidak berarti. Anda sudah sadar. Anda sudah set the boundaries. Namun, Anda tidak mencari kesibukan? Selamat, Anda akan kembali menjadi alumni yang menyebalkan tadi. Karena tak ada hal lain yang akan anda lakukan.

Sekali dua kali mungkin tak jadi soal. Awalnya Anda hanya ingin sekali-kali berkunjung melihat kondisi. Ketiga dan seterusnya, Anda mulai merasa harus “turun gunung” kembali untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Puncaknya, Anda pun mulai mengintervensi. Semoga hal ini tidak terjadi kepada Anda — pun juga kepada Saya — selaku demisioner organisasi.

Banyak sekali hal yang bisa dilakukan. Mendalami hobi, menulis, membaca, mengerjakan skripsi, banyak hal yang bisa dilakukan untuk menyibukkan diri. Kesibukan-kesibukan ini — perlahan tapi pasti — akan menyibukkan kita — kok mbulet ya kalimatnya — dari kesibukan sebelumnya di organisasi.

Wallahu’alam bishowab.

--

--