Pulang

Sejauh apapun pergi, rumah adalah tempat kembali

Hisyam Asadullah
3 min readSep 20, 2022

--

Sumber: Dokumentasi Pribadi.

Aku terhitung merantau sejak masuk SMA. Usia yang tak terlalu matang sebenarnya, tapi kesempatan yang telah datang tak boleh disia — siakan. Berbekal secuil keberanian dan keinginan untuk mencari sesuatu yang baru, akhirnya aku berangkat.

Waktu berjalan begitu cepat. Banyak sekali yang aku dapatkan semasa merantau di tanah orang. Mungkin akan kuceritakan di tulisan yang lain saja. Namun ada satu hal yang baru, bahwa sejak SMA lah aku mulai suka berjalan — jalan (atau mungkin mendapatkan kesempatan untuk jalan — jalan). Beberapa kali jalan ke provinsi lain karena ikut lomba, ikut pelatihan, atau memang tujuan jalannya murni untuk rihlah. Banyak sekali dapat pengalaman baru, kawan baru, dan hal — hal baru lainnya yang tak bisa disebutkan satu persatu.

Benarlah kata pepatah — entahlah aku tak tahu pepatah atau bukan — bahwa dengan kamu merantau, kamu akan mendapatkan ganti atas apa yang kamu tinggalkan. Kamu akan mendapat ganti kawan baru atas kawan lama, rumah baru atas rumah lama, lingkungan baru atas lingkungan lama. Awalnya memang tak mudah, namun seiring berjalan waktu semuanya terbiasa.

Untuk perantau pemula, kamu akan mengenal istilah homesick. Dan homesick adalah hal yang wajar. Kangen rumah karena situasi yang sekarang berbeda dengan di rumah sebelumnya tentu menjadi hal yang sangat lumrah. Bahkan beberapa sahabat Rasulullah SAW pun pernah homesick dengan rumah mereka di Makkah. Hal yang sangat wajar terjadi, tinggal kitanya apakah mau berdamai atau tidak dengan keadaan yang kita alami.

Namun, ketika waktu pulang tiba — biasanya libur semester selama dua pekan setiap enam bulan — aku selalu excited. Senang sekali rasanya akhirnya bisa pulang ke rumah sejenak untuk mengistirahatkan jiwa dan raga yang telah berjuang di tanah rantau. Walaupun dikatakan bahwa kita akan mendapatkan ganti atas apa yang kita tinggalkan, tetap kurasa rumah yang sebenarnya tetap tak tergantikan. Prinsipnya selalu:

Sejauh apapun pergi, rumah adalah tempat kembali. Sejauh apapun terbang, rumah adalah tempat pulang.

Aku selalu merindukan kondisi rumah yang penuh dinamika dan cerita -cerita kecil di dalamnya. Bapak yang berangkat ke kantor, Ibu yang berangkat ngajar, dan aku yang tetap di rumah karena kuliah online haha. Aku selalu ingat mie ayam mas Komar yang tak tergantikan. Aku selalu rindu untuk sekadar duduk — duduk di pinggir pantai sembari menikmati ketenangan dan makan cilor yang dibeli di sana. Aku selalu rindu untuk jalan — jalan tak tentu arah di sekitar kota kecilku yang penuh dengan kenangan. Aku selalu rindu akan itu. Dan kenangan — kenangan itu tak bisa digantikan dengan rumah baru di mana pun itu.

Pada akhirnya, rumah baru akan menciptakan kenangan baru, bukan mengganti kenangan yang lama. Kawan baru akan menciptakan persaudaraan yang baru, tidak menghapus persaudaraan yang lama. Kenangan lama akan selalu ada, menetap, dan mungkin sekali — kali mengetuk pintu hati dan mengajak untuk pulang.

Sekali aku pernah mendengar: Rumah bukan hanya soal tempat, namun ia juga soal rasa. Tak salah. Namun, tempat — tempat tadi juga telah membentuk rasa yang tak bisa digantikan di tempat lain. Jadi, selalu ingat rumahmu, selalu ingat kemana dirimu pulang.

--

--