Take a Break from Social Media
--
Social media detox
Saya mendengar istilah ini di akhir tahun 2021. Sebuah istilah yang asing dan tak biasa di telinga. Saat itu, saya baru saja menyelesaikan salah satu amanah di fakultas sebagai ketua organisasi. Sudah berniat untuk melakukannya, namun qadarullah mendapatkan amanah lebih tinggi sebagai ketua organisasi di tingkat kampus. Akhirnya, rencana itu harus tertunda satu tahun lamanya.
Social media detox. Ketika mendengar kata detox, maka yang terbayang adalah pembuangan racun. Detoksifikasi menurut kbbi adalah penawaran atau penetralan toksin di dalam tubuh. Sederhananya, detoksifikasi adalah proses pembuangan racun dari dalam tubuh untuk menyehatkan sang pemilik badan. Lantas, social media detox? Apakah memang sosial media seburuk itu sehingga harus dibersihkan dari kehidupan?
Jawabannya kembali ke pribadi masing-masing. Tak bisa menjustifikasi bahwa sosial media buruk bagi semua orang. Begitu pula sebaliknya. Sosial media pun belum tentu baik bagi semua orang. Ada konten-konten yang bagus untuk kehidupan, barangkali satu dua telah mengubah hidupmu secara signifikan. Ada pula konten-konten nirfaedah yang jikalau dikonsumsi setiap hari akan membuat kehidupanmu menjadi lebih kacau.
For me? Sejauh ini sosial media telah banyak sekali membantu. Banyak sekali konten-konten yang menginspirasi. Sebut saja akun instagram @xlfutureleaders, @rumah_kepemimpinan, @bukuakik, dan akun-akun lain yang saya rasa beberapa kontennya cukup menarik dan memberikan insight untuk dilihat dan dinikmati.
Sosial media pun membantu saya untuk berjejaring dengan berbagai kawan dari seluruh Indonesia. Banyak berita kawan-kawan yang barangkali kalau tanpa sosial media, saya pun tak akan tahu. Saya tak akan tahu kalau ternyata kawan-kawan bermain waktu kecil sudah menikah jikalau tanpa sosial media. Saya tak akan tahu kalau ternyata ada kawan yang sudah mencapai karir impiannya di usia yang sama jikalau tanpa sosial media. Maka dari itu, sosial media telah banyak membantu dalam dua hal: Memberikan informasi dan berjejaring dengan orang-orang.
However, i think that’s enough. Cukup untuk bersosial media hari ini. Sudah terlalu lama waktu menatap layar handphone yang saya habiskan. Sudah terlalu banyak informasi yang masuk ke dalam kepala tanpa tersaring terlebih dahulu. I need to take a break for a while. Di arus perputaran dunia yang begitu cepat, saya rasa tak ada salahnya jikalau kita mengambil waktu istirahat sejenak. Bukan berarti kalah dan tergilas oleh zaman. Namun, sebuah upaya persiapan untuk lebih kuat lagi di masa yang akan datang.
Social media detox sedikitnya agak mirip dengan uzlah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Secara harfiah, uzlah artinya mengasingkan atau menarik diri dari keramaian. Dulu, Rasulullah SAW menepi ke gua hira untuk memikirkan ummat di masa itu. Rasanya sudah terlalu jauh dari kebenaran. Sampai akhirnya, nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasulullah bagi seluruh semesta alam.
Sama halnya dengan social media detox. Kita mencoba menjauh sejenak dari sosial media. Menjauhi kebisingan yang tidak berarti. Mencoba mencari arti dari penciptaan diri. Menyusun kembali rencana-rencana kehidupan untuk dieksekusi di kemudian hari.
Entah sampai kapan saya akan menonaktifkan sosial media, terkhusus instagram dan twitter karena di dua sosial media itulah saya cukup aktif. Apakah saya akan tetap menulis di medium seperti sekarang? Itu pun akan dipikirkan kembali. Ada beberapa hal yang mesti saya lakukan dan persiapkan untuk menghadapai masa depan. Here’s why:
Re-evaluate my value
Empat tahun kehidupan di kampus telah memberikan saya begitu banyak pelajaran melalui berbagai kegiatan, organisasi dan komunitas. Jikalau dirangkum, ada tiga tempat bertumbuh selama saya berada di kampus: Pertama di teknik kimia, kedua di lembaga dakwah kampus, ketiga di rumah kepemimpinan.
Teknik kimia menjadi tempat pertama karena teknik kimia merupakan alasan saya berkuliah disini. Bahwa tujuan awal berkuliah di teknik kimia adalah ketertarikan mengenai energi alternatif. Apakah sekarang niat awalnya masih sama? Entahlah. Tak terbayang sebelumnya bahwa saya akan aktif disini, aktif disana, ikut kegiatan ini, ikut kegiatan itu. Yang saya bayangkan di awal perkuliahan adalah: “Saya akan belajar disini, karena itulah amanah dari orang tua”.
Banyak sekali yang telah saya pelajari disini. Prinsip dasar teknik kimia sampai teknik pengolahan limbah. Sesuai ekspektasi? Agak meleset sedikit. Awalnya saya mengira akan lebih banyak belajar kimia disini. Namun, yang terjadi sesungguhnya adalah: Fisika dimana-mana. Menyesal? Jalani saja hahaha.
Sebuah ungkapan yang seringkali diucapkan disini adalah: “Setiap reaksi harus balance. Antara yang masuk dan keluar jumlahnya harus sama. Jikalau jumlahnya tidak sama, mungkin ada yang salah dari perhitungannya”. Sebuah ungkapan yang bisa ditarik menjadi pelajaran kehidupan, tapi biarlah teman-teman pembaca memaknai sendiri artinya apa.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya saya mencoba banyak hal. Saya ikut organisasi di BEM, Keilmiahan, Lembaga Dakwah Kampus, dsb. Saya pun mencoba untuk menjadi sukarelawan dakwah di salah satu sosial media yang coba dibangun, @3safaproduction. Akhirnya, saya memilih — atau mungkin terpilih — untuk aktif di lembaga dakwah kampus. Sebuah pilihan yang pada akhirnya membawa saya menemukan banyak sekali pembelajaran dan pengalaman.
Apa yang dipelajari? Banyak sekali. Saya belajar memanajemen organisasi, belajar memahami orang, belajar menjalankan suatu program, belajar berdialog dan berdiskusi. Lembaga dakwah kampus telah memberikan kesempatan untuk bertumbuh dengan nilai-nilai keislaman yang kuat. Dan saya mencoba untuk memaksimalkan kesempatan itu.
Lembaga dakwah kampus pun akhirnya membawa saya sampai ke salah satu masjid di kampus impian banyak orang, masjid Salman ITB. Masjid Salman dengan sistem kaderisasinya telah berhasil membentuk aktivis-aktivis dakwah kampus di seluruh Indonesia, dan salah satunya adalah saya (Aamiin). Nilai-nilai keislaman yang ditanamkan pun sama kuatnya dengan nilai yang ditanamkan di lembaga dakwah kampus. Klop.
Selanjutnya, rumah kepemimpinan. Pertemuan dengan rumah kepemimpinan adalah pertemuan yang tidak disangka-sangka dan merupakan salah satu anugerah saat pandemi. Pandemi memang menjadi bencana bagi banyak orang. Akan tetapi, bukankah kita perlu mengambil hikmah di setiap kejadian yang menimpa? Rumah kepemimpinan adalah salah satu hikmah yang saya dapatkan. Seandainya pandemi tidak pernah terjadi, mungkin saja rumah kepemimpinan tak akan membuka ruang untuk pendaftar dari seluruh Indonesia. Dan saya pun tak akan menjadi salah satu bagian darinya.
Rumah kepemimpinan telah memberikan lingkungan yang suportif untuk berkembang. Orang-orang yang mempunyai visi untuk membangun “Indonesia yang lebih baik dan bermartabat”. 22 bulan mengalami asrama online tentunya menjadi tantangan tersendiri. Alhamdulillah nilai-nilai yang telah disampaikan tetap mengakar kuat.
Nilai-nilai yang telah didapatkan, pelajaran-pelajaran yang telah dipahamkan, ide-ide yang telah dituangkan tentunya meningkatkan kapasitas diri secara signifikan. Saya menyadari hal tersebut. Namun, pada akhirnya perlu evaluasi mendalam untuk menentukan nilai-nilai utama yang harus saya pegang sebagai landasan untuk bergerak.
Post-campus preparation
Saya pernah mendengar bahwa: “Kampus adalah kolam renang tenang, sedangkan kehidupan pasca kampus adalah lautan ganas”. Selama di kampus, saya telah belajar untuk berenang di “kolam renang tenang”. Saya telah mempelajari dasar-dasar berenang untuk kemudian nanti menghadapi “lautan ganas”. Maka, layaknya sebuah episode baru, kehidupan pasca kampus pun patut untuk dipersiapkan dengan matang. Kehidupan pasca kampus adalah penentuan. Apakah pembelajaran di kampus telah berhasil membentuk kita? Ataukah ia hanya dianggap sebagai salah satu episode kehidupan yang biasa saja.
Banyak hal yang harus dipersiapkan. Sebagai contoh: Untuk karir, karir seperti apakah yang akan dilewati? Apakah mau sesuai dengan jurusan sekarang? Atau mau switch career karena memang tidak sesuai dan perlu tantangan baru? Itu satu hal yang perlu dipersiapkan.
Lalu masuk ke pertanyaan berikutnya, bagaimana tentang pernikahan? Bagaimana tentang lanjut studi? Mana yang menjadi prioritas? Semua itu perlu direncakanan dengan matang. Saya pernah menemukan di sebuah kutipan tokoh — entahlah saya tak berhasil menemukannya kembali dari mana — bahwa 10 tahun pertama karirmu akan menentukan kehidupanmu secara signifikan di masa yang akan datang. Maka, atas segala pertimbangan tadi, saya rasa perlu untuk menyusun ulang rencana pasca kampus yang akan dilaksanakan nantinya.
Wallahu’alam bishowab.